30 November 2012

Běijīng zhī xíng


Ni-hao! Beberapa hari yang lalu saya mengikuti konferensi internasional mengenai pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) di Beijing China. Sejak awal saya tidak kuatir mengenai komunikasi, meskipun saya tidak bisa berbahasa Mandarin. Toh konferensi itu dihadiri oleh kalangan internasional dan bahasa inggris dipilih sebagai bahasa resmi di konferensi itu. Saya yakin, dengan pengalaman berbahasa inggris selama ini, saya akan survive. Selain itu, saya akan ke Beijing. Beijing yang saya bayangkan adalah kota besar dan orang-orangnya bertaraf internasional –yah paling tidak bisa bahasa inggris sedikit-sedikit. Setidaknya beberapa teman mengatakan hal ini sebelum keberangkatan.

Benar, saya survive selama presentasi dan mengikuti kegiatan-kegiatan di konferensi, termasuk ketika coffee break, lunch atau dinner. Tapi masalah itu mulai terasa ketika saya harus berkomunikasi dengan sopir taxi, pegawai hotel, pelayan toko atau restoran yang merupakan native chinese dan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali kecuali thank you, okay dan sorry. Saya juga menemui masalah komunikasi dengan beberapa mahasiswa yang terlibat sebagai panitia konferensi. Meskipun mahasiswa ini berbahasa inggris, tapi seperti saya, pengucapan bahasa inggrisnya diwarnai dengan dialek bahasa pertama. Sehinga kami sama-sama bingung.

Dari ide seorang sahabat, mbak Dyah, saya mempersiapkan kartu-kartu bertuliskan percakapan sehari-hari bahasa inggris dan mandarin, berikut pinyin-nya. Seorang teman peneliti dari China membantu membuat translasinya. Bodohnya saya, sesampai di Beijing dan ketika harus berkomunikasi dengan mereka, saya lupa kalau punya kartu ini. Saya hanya bilang: “mm.. speak english, speak english?” dan untungnya merenka ngerti kemudian memanggil temannya yang ngerti bahasa inggris.

Kemudian ketika saya keluar hotel, eh… kartunya ketinggalan. Bismillah, begitu ucap saya dalam hati. Satu saat, saya ingin berfoto di depan sebuah patung. Sudah coba berkali-kali foto sendiri, hasilnya kurang memuaskan. Ada seorang perempuan muda melewati saya dengan headphone di telinganya sambil memainkan iphone-nya. Saya bilang, “excuse me, could you please take a photo for me.” Dia hanya melongo, saya sekali lagi bilang “mmm…. Photo, photo” sambil menunjuk jari ke wajah saya dan camera di  iphone saya. Eh dianya malah ngacir sampil melambaikan tangannya seperti mengatakan tidak. Mungkin dia pikir saya mau mengajak dia photo. 

Ketika berbincang dengan seorang mahasiswa atau dosen (bertitel doktor) yang kental sekali Chinglish-nya, saya diminta menuliskan apa yang saya maksud di selembar kertas. Hingga akhirnya paham yang saya maksud dan kami pun sama-sama tersenyum. Kemudian saya beberapa kali menggunakan teknik ini untuk berkomunikasi jika mereka tidak paham atau saya tidak paham yang kami maksud.

Akhirnya, saya mendapatkan sebuah ide brilian dari penjaga toko souvenir di hotel tempat saya tinggal. Waktu itu saya menanyakan harga sebuah porceline khas China, white and blue. Naluri tawar menawar saya muncul, tapi saya tidak tahu menyampaikannya. Si penjaga toko juga merasa ingin meyakinkan saya tapi tidak tahu menyampaikannya. Tiba-tiba dia membuka Google Chrome di PC nya, mengetikkan sesuatu di Google translate dan memperlihatkannya kepada saya. Miracle! Kami pun tawar menawar harga melalui media itu, tak lupa memakai jurus melas sebagai seorang mahasiswa yang jobless. Selain itu, saya juga mendapatkan penjelasan mengenai makna warna, bunga dan tulisan fu di blue and white ceramics khas yang dia pajang.

Saya baru ingat, bukankah saya bisa akses Google translate di iphone. Kenapa dari awal saya tidak menginstal kamus English – Chinese di iphone juga, bukankah akan lebih mudah. Yah demikianlah… tak perlu disesali. Saya berhak belajar dari siapa saja dan itulah kenikmatan memahami keterbatasan. Semenjak itu, saya menggunakan Google translate untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri saya. Dengan sopir taxi, saya ketik dulu saya mau apa kemudian tinggal klik, google akan mengucapkannya kepada dia atau saya coba membacanya. Masih ingat betul saya ketika saya mengatakan “very big” dalam bahasa china “Fēicháng dà” dengan aksen Indonesia saya menjadi “fii-cang da”. Sopir taxi yang menemani saya membetulkan cara membaca saya yang salah, harusnya “fi-tjang da” dan berulang ulang dia melafalkan “da” sampai saya bisa melafalkannya seperti “da” dengan lafal “d” yang berat seperti “dal” dalam bahasa arab. 

Saya selalu tersenyum jika ingat berbagai kejadian lucu terkait bahasa ini. Saya bersyukur saya masih seperti dulu, memahami keterbatasan, selalu ingin belajar dan tidak putus asa. Anyway, xiè xiè Google translate. :-)

Catatan: Běijīng zhī xíng : The trip to Beijing: Perjalanan ke Beijing